Kesenjangan Sosial dan Bias Algoritma, Tantangan AI yang Perlu Dikelola !

    Kesenjangan Sosial dan Bias Algoritma, Tantangan AI yang Perlu Dikelola !
    Opini oleh: Dr. Kasmiah Ali, S.Sos.,M.A.P

    OPINI - AI dan Kesenjangan Sosial. AI telah membawa revolusi besar dalam berbagai sektor, mulai dari kesehatan hingga pendidikan dan ekonomi. Namun, jika tidak dikelola dengan hati-hati, AI juga dapat memperburuk kesenjangan sosial yang sudah ada. Salah satu alasan utama AI dapat memperburuk ketimpangan adalah karena teknologi ini sering kali lebih mudah diakses oleh kelompok yang sudah memiliki sumber daya lebih besar, baik secara finansial maupun dalam hal akses ke pendidikan dan teknologi.

    Contoh konkret dari hal ini adalah pada penerapan teknologi AI di sektor pekerjaan. AI memiliki potensi untuk mengotomatisasi pekerjaan yang membutuhkan keterampilan rendah atau rutin, yang pada umumnya banyak dilakukan oleh kelompok berpenghasilan rendah. Jika tidak ada upaya serius dari pemerintah atau sektor swasta untuk menyediakan pelatihan ulang atau pengembangan keterampilan baru bagi tenaga kerja, otomatisasi ini dapat menyebabkan pengangguran di kalangan masyarakat yang paling rentan.

    Selain itu, akses terhadap teknologi AI cenderung lebih tinggi di negara maju atau di kota-kota besar yang memiliki infrastruktur teknologi yang baik. Sementara itu, daerah pedesaan atau negara-negara berkembang sering tertinggal dalam adopsi teknologi ini, memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi. Ketidaksetaraan akses ini menciptakan “kesenjangan digital” yang dapat membuat kelompok masyarakat tertentu semakin terpinggirkan.

    Bias Algoritmik dalam AI.

    Bias algoritmik merupakan salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan dan penerapan AI. Sistem AI dilatih menggunakan data, dan data yang digunakan sering kali mencerminkan bias yang ada dalam masyarakat. Jika data yang digunakan untuk melatih algoritma tidak representatif atau mencerminkan bias sosial yang ada, AI berpotensi untuk memperkuat ketidakadilan dan diskriminasi.

    Misalnya, dalam sistem perekrutan otomatis, jika data yang digunakan untuk melatih AI berasal dari perusahaan yang secara historis mempekerjakan lebih banyak pria daripada wanita, AI dapat cenderung mendiskriminasi pelamar wanita karena belajar dari pola yang tidak adil dalam data historis. Kasus lain adalah penggunaan AI yang kontroversial di Indonesia terkait penegakan hukum adalah penggunaan teknologi pengenalan wajah oleh aparat keamanan. Teknologi ini mulai digunakan untuk memantau aktivitas publik dan mendeteksi pelanggaran hukum, seperti dalam kasus demonstrasi atau penyalahgunaan lalu lintas. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa teknologi ini bisa memicu bias terhadap kelompok-kelompok tertentu, terutama di daerah-daerah yang sering mengalami ketegangan sosial atau politik. Kekhawatiran ini berpusat pada risiko bahwa teknologi pengenalan wajah dapat memperkuat stereotip yang ada, meningkatkan diskriminasi, dan melanggar hak privasi individu. 

    Kasus yang paling sering disorot adalah potensi teknologi tersebut digunakan dalam mengidentifikasi peserta demonstrasi secara tidak proporsional berdasarkan preferensi algoritma, yang bisa salah mengenali individu dan menargetkan kelompok tertentu secara tidak adil.

    Dampak pada Masyarakat.

    Bias algoritmik memiliki dampak yang luas dan serius pada masyarakat, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan. Jika dibiarkan tanpa regulasi atau pengawasan yang memadai, AI dapat memperparah diskriminasi di berbagai sektor, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan penegakan hukum. Bias ini tidak hanya memperkuat ketidakadilan yang sudah ada, tetapi juga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap teknologi dan pemerintah yang mengadopsinya.

    Contoh nyata di Indonesia terkait ketimpangan sosial dan bias algoritmik dalam kehidupan ekonomi bisa dilihat dalam sistem penilaian kredit. Algoritma yang digunakan untuk menilai kelayakan kredit seringkali bergantung pada data historis yang tidak selalu lengkap atau akurat, terutama bagi kelompok masyarakat dengan akses terbatas ke layanan keuangan formal. Misalnya, orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan atau memiliki latar belakang ekonomi rendah mungkin memiliki riwayat kredit yang minim, sehingga mereka dinilai berisiko tinggi oleh algoritma dan sulit mendapatkan akses ke pinjaman atau layanan perbankan lainnya. Hal ini memperkuat ketimpangan ekonomi, karena mereka yang sudah termarjinalkan secara ekonomi semakin sulit untuk memperoleh akses ke sumber daya yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka.

    Solusi Awal dan Pandangan ke Depan.

    Untuk mengatasi masalah kesenjangan sosial dan bias algoritmik dalam AI, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan akademisi. Berikut adalah beberapa solusi awal yang dapat dijajaki lebih lanjut

    1. Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengembangan AI.

    Perusahaan dan lembaga yang mengembangkan teknologi AI harus transparan tentang bagaimana sistem mereka beroperasi dan jenis data yang digunakan untuk melatih algoritma mereka. Selain itu, diperlukan mekanisme akuntabilitas yang jelas untuk menangani kesalahan atau bias dalam sistem AI. Salah satu cara untuk meningkatkan transparansi adalah dengan menyediakan audit algoritmik, di mana pihak ketiga independen dapat memeriksa bias dalam sistem AI.

    2. Penyediaan Data yang Beragam dan Representatif.

    Untuk mengurangi bias algoritmik, penting untuk memastikan bahwa data yang digunakan untuk melatih AI mencerminkan keragaman masyarakat. Hal ini melibatkan pengumpulan data dari berbagai kelompok, termasuk minoritas yang sering terpinggirkan, sehingga AI dapat menghasilkan keputusan yang lebih adil dan inklusif.

    3.Pengembangan Kebijakan dan Regulasi yang Komprehensif.

    Pemerintah harus mengembangkan regulasi yang memastikan bahwa AI digunakan secara adil dan tidak merugikan kelompok tertentu. Regulasi ini dapat mencakup aturan tentang audit algoritmik, transparansi dalam penggunaan AI, dan tanggung jawab hukum jika terjadi diskriminasi atau bias yang merugikan masyarakat.

    4.Pendidikan dan Pelatihan Ulang.

    Untuk mengurangi kesenjangan sosial yang mungkin diperburuk oleh AI, pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama dalam menyediakan pendidikan dan pelatihan ulang bagi tenaga kerja. Ini penting untuk memastikan bahwa kelompok yang terancam oleh otomatisasi pekerjaan dapat mempelajari keterampilan baru yang relevan dengan ekonomi yang didorong oleh teknologi.

    5. Kolaborasi Internasional untuk Pengembangan Etika AI.

    AI adalah isu global, dan tantangan terkait kesenjangan sosial serta bias algoritmik harus ditangani melalui kolaborasi internasional. Pemerintah, perusahaan teknologi, dan organisasi internasional dapat bekerja sama untuk mengembangkan standar etika dan kebijakan yang mengatur penggunaan AI, memastikan bahwa teknologi ini digunakan untuk kepentingan semua orang.

    Dalam tulisan selanjutnya, saya akan mengeksplorasi lebih lanjut solusi yang lebih spesifik terkait dengan bagaimana pemerintah dapat bekerja sama dengan sektor swasta dan organisasi masyarakat untuk memastikan bahwa AI tidak hanya inovatif, tetapi juga adil dan inklusif. Dengan pendekatan yang tepat, AI memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, tetapi hal ini hanya dapat tercapai jika tantangan-tantangan di atas dikelola dengan baik.

    Senin 16 September 2024
    Opini oleh: Dr. Kasmiah Ali, S.Sos., M.A.P

    opini kasmiah ali
    MUH. HASYIM HANIS, SE, S.Pd, C.L.E

    MUH. HASYIM HANIS, SE, S.Pd, C.L.E

    Artikel Sebelumnya

    Dua Pengamat: Dokter Ulfah Layak Jadi Bupati...

    Artikel Berikutnya

    Dukungan Tarekat Khalwatiyah Samman Kuatkan...

    Berita terkait

    Rekomendasi berita

    Nagari TV, TVnya Nagari!
    Hendri Kampai: Revolusi Penulisan Rilis Berita dengan Bantuan Artificial Intelligence (AI)
    Bupati Barru Suardi Saleh Apresiasi Kegiatan Berburu Babi Pengganggu Tanaman
    Ciptakan Situasi Aman, Kapolsek Bungoro AKP Abdul Haris Pimpin Pengamanan Kampanye Paslon Cabup dan Cawabup di Pangkep
    Agus Flores, Sang Komando Media yang Mampu Menggerakkan 1000 Media dalam Hitungan Menit